Sahabat Bagaikan Kepongpong
Pada
suatu hari Sahabat bertemu dengan Ulat. Kemudian Sahabat menyapa si Ulat, “Hai
Ulat! Nama kamu siapa?” tanya Sahabat.
Kemudian si Ulat menjawab, “Hallo, Sahabat!
Namaku Ulat Seperti Bola Pingpong,”. Lalu si Ulat balik bertanya pada Sahabat,
“Kalau nama kamu siapa Sahabat?”
Sahabat pun menjawab, “Namaku
Sahabat Thok,”
Ulat kemudian berkata, “Ooo, jadi
nama kamu Sahabat Thok. Nama kamu lucu, ya!”
“Ah, nggak juga, ah… Lucuan nama
kamu, Ulat!” kata Sahabat.
Kemudian Ulat berkata, “Mulai
sekarang kita berteman, ya?”
“Oke. Sekarang kita adalah teman,”
kata Sahabat.
Setelah beberapa percakapan terjadi,
mereka kemudian berpisah. Setelah pertemuan itu, mereka pun jadi sering bertemu
dan bermain di pinggir sungai di dalam hutan. Mereka bermain, bercanda, dan
juga belajar bersama.
Pada suatu hari, seperti biasa
mereka janjian di tempat biasa, yaitu pinggir sungai di dalam hutan. Ketika Sahabat
tiba di tempat, dia belum melihat si Ulat yang biasanya datang lebih dulu.
“Mana ini si Ulat kok belum
kelihatan? Biasanya dia datang duluan” kata Sahabat.
Kemudian si Sahabat mondar-mandir
kesana-kemari menunggu si Ulat. Tak lama kemudian si Sahabat melihat bungkusan
putih pada sebuah pohon.
“Ini apa, ya? Kok bentuknya seperti
guling, tapi mana bantalnya? Bukan… bukan guling ini. Wah, jangan-jangan ini si
Ulat yang jadi kepongpong.” kata si Sahabat berbicara sendiri.
Kemudian Sahabat mengamati dengan
teliti bungkusan itu, “Iya benar. Ini si Ulat, benar!” kata Sahabat.
“Hei, Ulat kamu lagi ngapain? Kamu
kok berubah jadi guling seperti ini?” tanya si Sahabat, akan tetapi si Ulat
dalam bentuk guling tersebut, oh sory, kepongpong maksudnya, tidak berkata
sepatah kata pun.
Kemudian si Sahabat duduk di samping
Ulat sambil ngomong sama si Ulat walau Ulat tidak menjawab apapun, alias
ngomong sendiri seperti orang gila galau. Sore hari pun tiba, tapi si Ulat
tetap tidak bergerak sama sekali. Karena sudah sore, Sahabat memutuskan untuk
pulang mau mandi, gosok gigi, dan lain-lain kemudian sholat magrib juga nggak
boleh lupa. Keesokan, harinya si Sahabat berkunjung ke tempat kemarin, tempat
dimana si Ulat yang jadi kepongpong.
“Ulat, kamu kok masih jadi
kepongpong, sih? Sudah makan belum? Belum, ya. Apa nggak lapar? Kapan udahan jadi
kepongpongnya? Aku mau main nih sama kamu? Kalau nggak ada kamu aku kan tidak
bisa main. Tapi ya sudah lah, aku akan tetap di sini nungguin kamu. Kalau gitu,
gimana kalau rumahku akan ku bawa kesini biar kamu bisa aku temani setiap saat
dan setiap waktu. Yeah, kayaknya itu ide yang bagus.” begitulah kira-kira si Sahabat
berbicara sendiri.
Tak lama setelah itu si Sahabat
pulang ke rumah untuk membawa rumahnya ke tempat si Ulat yang jadi kepongpong.
Dengan susah payah dan lelah, si
Sahabat sampai di tempat si Ulat dengan membawa rumahnya. Kemudian si Sahabat
berkata, “Huufff, ahirnya sampai juga. Capek juga ya, jauh juga lagi, rumahku
berat juga ya, juga apalagi ya???” begitulah kira-kira si Sahabat bergumam.
“Dengan begini, aku bisa menemanimu,
Ulat!” kata si Sahabat.
Hari demi hari berlalu, dan Sahabat
setia menemani si Ulat yang jadi kepongpong. Suatu hari si Sahabat yang baru
bangun tidur binggung melihat kepongpongnya si Ulat yang terlihat seperti robek
dan tidak ada isinya.
“Wah… dimana ini si Ulat, kok
kepongpongnya robek? jangan-jangan si Ulat dimakan macan. Tapi macan nggak
makan ulat. Buaya mungkin, ya? Buaya juga nggak makan ulat. Lalu dimana ini si
Ulat?” kata si Sahabat cemas dan berbicara sendiri.
Kemudian ada yang datang dari
belakang dan berkata, “Hai, kamu lagi ngapain?”
Kemudian Sahabat menoleh kebelakang
“Ini aku lagi binggung mencari temanku yang kemarin masih di situ,” kata Sahabat
sambil menunjuk bungkus kepongpong yang robek.
Sesuatu yang datang tersebut
kemudian berkata “Oh.. itu. Kamu nggak tau siapa aku, ya?”
Kemudian Sahabat menjawab, “Kamu
anak gubernur, ya? Atau kamu akan bupati, ya? Tapi kamu kok punya sayap?”.
“Kamu nggak kenal aku, ya? Ini aku
ulat yang berubah jadi kepongpong, yang berubah lagi jadi kupu-kupu,” kata si Ulat
yang sudah berubah jadi kupu-kupu.
“Wow, sekarang kamu sudah berubah
jadi cantik, indah, dan mengagumkan, ya!” kata si Sahabat sambil melihat dari
bawah sampai bagian atas si Ulat yang berubah jadi kupu-kupu.
Kemudian Kupu-Kupu berkata, “Iya,
benar. Ini aku. Walaupun aku sudah berubah jadi kupu-kupu, kita tetap teman,
ya! Ini aku bawa madu, ayo kita makan bersama-sama!”
Dengan rasa senang dan suka cita
mereka berdua makan madu bersama. Sambil makan madu mereka berdua ngobrol.
“Hei Sahabat, kamu nungguin aku
terus waktu aku jadi kepongpong ya? sampai-sampai rumahmu dibawa kesini,” tanya
si Kupu-Kupu.
“Iya ni, aku nungguin kamu waktu
kamu jadi kepongpong, karena aku khawatir sama kamu,” jawab si Sahabat.
“Kalau begitu kita berdua adalah
SAHABAT BAGAIKAN KEPONGPONG. Aku kepongpongnya dan kamu sahabatnya,” kata si
Kupu-Kupu bahagia.
“Hahahhaahahhahahaha,” tawa si Sahabat.
“Tapi kamu kan bukan kepongpong
lagi!” kata Sahabat.
Kupu-Kupu berkata, “O, iya ya, ya! Sudah
lah, yang penting kita SAHABAT BAGAIKAN KEPONGPONG,”
Kemudian mereka berdua tertawa lepas
dan merasa bahagia. SELESAI.
Demikian tadi cerita sahabat
bagaikan kepongpong. Cerita ini hanya fiktif apabila ada kesamaan nama, tokoh,
dan lain-lain memang begitulah adanya, jadi mohon dimaafkan. Oke ? Oke
tentunya. Tapi yang aku binggung si Sahabat itu mahluk seperti apa, ya? Kalau ulat,
kepongpong, kupu-kupu kan sudah jelas, tapi kalau Sahabat itu mahluk seperti
apa itu? Kalau ada pertanyaan seperti itu, aku tidak bisa jawab. Yang bisa
jawab cuma Anda dan siapa, ya? Dan sahabat Anda tentunya. Oke, sekian dari saya
ada kurang lebihnya mohon maaf. Selamat tidur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar